Cara Personalisasi Perawatan Kesehatan
SETIAP individu punya karakteristik berbeda, termasuk kemampuan tubuhnya dalam melawan penyakit atau menerima pengobatan. Untuk itu diperlukan pendekatan personal dalam sistem perawatan kesehatan.
Dunia berputar, kehidupan berubah, zaman berkembang. Jika manusia zaman dulu mampu melihat kehidupan manusia masa kini, mungkin mereka akan iri betapa hidup pada zaman modern ini serbacanggih dan praktis. Namun di sisi lain, manusia zaman sekarang menghadapi ancaman penyakit, yang mana kian hari kian banyak bermunculan penyakit baru.
Kanker termasuk salah satu yang paling ditakuti. Apalagi hingga kini, sebagian besar jenis kanker belum diketahui penyebab pastinya. Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa seseorang terkena kanker, sementara orang lainnya tidak terkena? Atau misalkan pada dua pasien yang sama-sama terkena jenis kanker yang sama pada stadium yang sama, mengapa pasien yang satu kankernya lebih cepat mengganas? Pertanyaan menggelitik lainnya, kenapa pasien kanker yang telah diobati ada yang cepat kambuh, tetapi ada pula yang bertahan tanpa kekambuhan selama bertahun-tahun?
Nah, personalisasi perawatan kesehatan (personalized healthcare) diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sistem terapi pasien pada masa mendatang diprediksi akan mengarah pada tren pengobatan dengan pendekatan personal ini.
Personalisasi perawatan kesehatan merupakan upaya memberikan terapi paling tepat untuk setiap pasien, atau menyesuaikan terapi dengan pasien untuk mendapatkan hasil klinis lebih baik berdasarkan pemahaman mengenai aspek biologi penyakit, mekanisme kerja obat, dan perbedaan biologis antarpasien. Dengan demikian, personalisasi perawatan kesehatan mengubah paradigma penatalaksanaan penyakit dari "satu obat untuk semua" menjadi pengobatan yang terdiferensiasi.
Pengembangan konsep ini dilandasi pengamatan bahwa pasien dengan diagnosis yang sama bisa saja memberikan respons berbeda terhadap pengobatan yang sama. Suatu jenis obat bisa saja efektif untuk seorang pasien, tetapi obat yang sama mungkin tidak memperlihatkan hasil seperti yang diinginkan pada pasien lain.
Data menunjukkan bahwa 20-75 persen pasien tidak mendapatkan terapi efektif. Bahkan di Amerika, data tahun 2007 menyebutkan lebih dari 100.000 orang meninggal akibat efek samping obat yang tidak diinginkan. Suatu obat bisa saja efektif untuk seorang pasien, tetapi mungkin saja tidak menampakkan hasil yang diinginkan saat diberikan pada pasien lain. Pasalnya, karakteristik individu, baik yang berhubungan dengan penyakit maupun tidak, bisa memengaruhi bagaimana suatu obat bekerja.
Terkait kanker, data Global Cancer (Globocan) yang didasarkan penelitian pada 2002, mengungkapkan bahwa setiap tahun terdapat 11 juta pasien kanker baru, dan sekitar 60 persen (7 juta) di antaranya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kanker belum sukses. Ironisnya lagi, 50 persen kasus kanker terdapat di negara berkembang, termasuk di Indonesia, yang mana kanker saat ini termasuk lima besar penyebab kematian.
Kepala Divisi Hematologi-Onkologi Medis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Dr Johan Kurnianda SpPD KHOM (K) mengemukakan, terjadinya kanker melalui proses kompleks yang dipengaruhi banyak faktor. Umumnya disebabkan protein dan gen yang bersinergi ataupun mutasi dan kelainan genetik. Untuk itu, lantas diciptakanlah obat untuk menghambat aktivitas protein berlebih tersebut. Kenyataannya, kanker bisa berkembang lewat jalur lain dan hasil pengobatan juga bisa berbeda antara pasien satu dan yang lain.
"Kanker adalah penyakit yang kompleks, sehingga perlu pendekatan multidisiplin yang sifatnya komprehensif. Mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga pengobatan paliatif pada penyakit yang peluang kesembuhannya kecil," ungkapnya saat temu media dalam acara Roche Fair ke-4 di Hotel Borobudur Jakarta baru-baru ini.
Dalam dunia kedokteran, personalisasi perawatan kesehatan menggunakan pendekatan yang berdasarkan informasi genotip (gen dan protein yang dihasilkan gen tersebut). Dengan mengetahuinya, mereka yang berisiko tinggi terkena kanker bisa segera melakukan tindak pencegahan, dan dokter pun bisa mengupayakan terapi paling tepat untuk masing-masing individu.
Contoh penerapan personalisasi perawatan kesehatan adalah dalam penatalaksanaan kanker payudara. Menurut Johan, sebagian besar kanker tidak bisa diprediksi kemunculannya. Namun, kanker payudara tergolong jenis kanker yang bisa "diramalkan" kejadiannya. Penelitian menunjukkan, pada wanita bilamana terdapat gen yang disebut BRCA 1 dan 2, maka risiko terkena kanker ini lebih dari 80 persen.
"Orang dengan kondisi seperti ini, misalnya wanita yang ibunya ada faktor keturunan kanker payudara, biasanya melakukan pencegahan dengan pengobatan ataupun operasi pemangkasan payudara (mastektomi). Data menunjukkan di luar negeri makin banyak pasien yang minta payudaranya dimutil (dipangkas)," tutur Johan.
Secara umum,personalisasi perawatan kesehatan mencakup pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan. Lingkupnya luas, bukan hanya diterapkan untuk kanker, melainkan juga penyakit secara umum. Pada penatalaksanaan hepatitis C misalnya, serangkaian tes diagnostik memungkinkan dokter memprediksi respons seorang pasien terhadap pengobatan sehingga bisa ditentukan jangka waktu pengobatan yang perlu diberikan untuk pasien.
"Dulu terapi hepatitis C umumnya harus 48 minggu. Dalam perkembangan, didapati bahwa ternyata untuk genotip yang beda pengobatan juga beda. Pada genotip 2 dan 3 misalnya, pengobatan bisa jadi lebih pendek, sekitar 18-24 minggu. Berkurangnya durasi tersebut tentunya memberikan cost benefit dan mengurangi risiko efek samping pada pasien," kata Head of Medical PT Roche Indonesia dr Fredy Setiawan.
sumber : www.okezone.com
0 komentar:
Posting Komentar