Menikmati Kedamaian Dusun Sade
LANGIT cerah, ketika rombongan menginjakkan kaki di Dusun Sade.Tak ada bangunan modern di dusun tersebut. Sejauh mata memandang hanya terlihat rumah dari bambu beratap alang-alang.
Bagi warga Sade, rumah-rumah tradisional, seperti cinta yang selalu bersemi di dusun mereka. Cinta akan tradisi dan peninggalan leluhur, nuansa itu begitu terasa di dusun yang terletak di Perkampungan Tradisional Sasak di Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tak sulit untuk mencapai lokasi ini. Anda hanya memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam dari Kota Mataram. Di dusun yang dihuni 700 penduduk ini, keharmonisan hidup masyarakat tradisional Sasak dapat terlihat di dusun tradisional yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu ini.
Di sini, rumah-rumah tetap dibuat dengan mempertahankan bentuk tradisionalnya, dengan dinding anyaman dan atap ilalang. Sedangkan lantainya terbuat dari tanah liat, yang dicampur dengan kotoran kerbau. Kotoran kerbau diyakini bisa menghangatkan ruangan dan membebaskan rumah dari binatang-binatang melata yang mengganggu.
Seluruh komponen bangunan rumah tradisional tersebut, bahkan tidak ada yang menggunakan bahan modern seperti semen atau batu bata. Bahkan, untuk menancapkan bambu, masyarakat Sade tidak menggunakan paku besi, melainkan menggunakan paku atau pasak yang terbuat dari bambu pula.
Kedamaian khas desa tradisional semakin terasa, ketika melewati gerbang perkampungan tradisional ini. Sebuah lumbung beras yang berdiri di atas jalan setapak, seakan menjadi gerbang selamat datang untuk menyambut setiap tamu yang datang berkunjung.
Untuk mengelilingi desa, pengunjung harus melewati jalan setapak berbatu yang cukup rapi dan bersih. Sesekali akan terlihat ibu-ibu rumah tangga sedang memintal benang di halaman rumah masing-masing. Atau akan terlihat pula ibu-ibu sedang memajang aneka suvenir seperti kalung atau gelang di pintu rumah, untuk dijual kepada pendatang atau turis.
Rumah tradisional Sasak terasa sangat berbeda dengan rumah tradisional di daerah lainnya di Indonesia. Rumah tradisional Sasak sangat pendek dan terkesan mungil.
Pintu masuknya bahkan membuat siapa pun yang masuk, harus menunduk terlebih dahulu. Ukuran pintu rumah tradisional turun-temurun tersebut tidak lebih satu meter saja. Demikian pula bagian dalam rumah ini, semuanya serbamini. Juga kamar tidur maupun dapur, semua mengharuskan pengunjung untuk menunduk.
"Interior rumah terbagi menjadi dua bagian, memasuki pintu, ruang pertama adalah tempat tidur khusus untuk orang tua. Sedangkan ruang tempat tidur anak-anak ditempatkan di ruang atas," kata warga Sasak yang menjadi pemandu, Weli Amrullah.
Walaupun bangunan rumah masyarakat Sasak sangat tradisional, hampir semua rumah sudah dialiri listrik. Bahkan, benda-benda elektronik seperti televisi, radio bahkan handphone sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sasak.
Sedangkan untuk menyimpan hasil panennya, suku Sasak membangun lumbung. Biasanya, tiga atau empat kepala keluarga membangun satu lumbung padi yang digunakan bersama. Bangunan lumbung padi itu konstruksinya dibuat khusus dengan tinggi tiga atau empat meter. "Untuk mengambil padi, mereka membuat tangga bambu sehingga memudahkan mereka mengambil ataupun menyimpan hasil panen," ucap Weli.
Keunikan lainnya ketika mengunjungi desa tradisional Sade adalah agama yang dianut. Rata-rata masyarakat Sasak adalah Islam waktu telu, yaitu gabungan kepercayaan animisme di masa lalu dengan Islam. "Masyarakat Sade masih sangat menjunjung tradisi gotong-royong ataupun kebebasan menganut agama. Walaupun mereka menganut Islam waktu telu, tidak bermasalah dengan agama lain," ucap Weli.
Mata pencaharian utama penduduk Sade adalah bertani. Tak heran bila hamparan sawah nan hijau menghiasi dusun tersebut. Mata pencaharian lainnya adalah menenun.
0 komentar:
Posting Komentar