Peucang, Surga yang Sempat Hilang
TAK perlu jauh-jauh pergi ke Sibolga untuk menikmati pesona alam sembari bermain butiran pasir putih. Di gugusan Pulau Taman Nasional Ujung Kulon, Anda bisa temui pesona surga yang pernah hilang. Itulah Pulau Peucang.
Kami memulai petualangan dari Pelabuhan Merak, Banten. Naik kapal Badak Laut milik Departemen Kehutanan yang telah sandar di pelabuhan. Ramai orang satu per satu memasuki buritan kapal. Kapal penuh sesak, dari kapasitas yang seharusnya 50 penumpang dijejali hingga 100 penumpang, semua ingin ikut berpetualang, termasuk di dalamnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto, Gubernur Banten Ratu Atut, dan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah.
Sesaknya penumpang yang ingin berwisata membuat ABK kapal Badak Laut membuat tempat duduk darurat. Pukul 10.00 WIB, kapal mulai bergerak. Nakhoda mengumumkan perjalanan yang bakal ditempuh dari Pelabuhan Merah ke Pulau Peucang kurang lebih tiga jam.
Itu tiga jam yang menyiksa, karena ombak setinggi lebih dari dua meter menggempur kapal cepat yang kami tumpangi tanpa henti. Hampir semua penumpang merasakan mual. Beberapa di antara kami memuntahkan isi perut. Sebenarnya, untuk mencapai Pulau Peucang tak harus melalui Pelabuhan Merak. Jika ingin perjalanan yang lebih santai tanpa ombak yang tinggi, bisa saja melalui Kampung Sumur di Pandeglang.
Di Dermaga Kampung Sumur ini, bisa menyewa speedboat atau kapal nelayan untuk menuju Pulau Peucang, meski sama-sama menempuh jarak 3 jam perjalanan, namun ombak tidak begitu besar, dibanding melalui Pelabuhan Merak. Tengah hari, kami mulai memasuki gugusan pulau di Ujung Kulon itu. Perlahan-lahan Badak Laut membuang sauh di tengah perairan.
Itu dilakukan karena dermaga Pulau Peucang hanya bisa dilabuhi speedboat atau sejenis kapal motor tempel. Lagi pula perairannya dangkal, sehingga mau tak mau seluruh penumpang diungsikan dengan kapal-kapal speedboat milik Perhutani. Sungguh, itu tiga jam perjalanan terombang-ambing di tengah lautan seperti hilang seketika.
Air laut di sekitar gugusan Pulau Ujung Kulon begitu jernih. Ribuan school fish bermain-main di bawah kapal. Menari-nari seperti menyambut kami. Di kejauhan, hamparan pasir putih dengan debur ombak tenang berwarna hijau kebiruan membuat kami tergesa ingin berenang di dalamnya.
Pulau Peucang sendiri merupakan daerah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon. Kebetulan, saat kami berkunjung ke sana, Mendagri Mardiyanto, Gubernur Banten Ratu Atut, dan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah sedang mencanangkan Peucang sebagai pulau penyangga Taman Nasional Ujung Kulon.
"Di Pulau Jawa, jarang sekali kita temui wisata alam sekelas ini," puji Mardiyanto.
Tak mengherankan memang, pulau yang sempat porak-poranda dihantam tsunami akibat letusan Krakatau 1883 lalu, kini tumbuh liar menjelma bagaikan surga. Suksesi alam memberi Peucang bentukan alam baru yang menakjubkan. Pulau Peucang tumbuh hijau penuh pepohonan, ficus, dan kiara raksasa.
Kiara di sini memang berukuran amat besar. Membutuhkan 22 orang dewasa untuk mengelilinginya dengan bergandengan tangan sekadar mengetahui diameternya, maka dinamai Kiara Raksasa. Kiara adalah tumbuhan parasit yang hidup melilit dan menghisap makanan dari pohon inangnya.
Ada pula Areuy kasongket, ini adalah tumbuhan sejenis liana.Tumbuh dengan menjulur dan melilit dari atas ke bawah hingga seolah-olah layaknya untaian mahakarya yang jatuh dari langit. Di ujung Pulau Peucang, tak kalah dahsyat tercipta mahakarya ukiran alam berupa karang Copong.
Dinamai karang Copong karena ada lubang besar mengangga tepat di tengahtengah karang Karena keindahan alam Peucang inilah, pengelola menyediakan jasa tracking membelah Pulau Peucang menuju Karang Copong. Hanya membutuhkan waktu tiga jam perjalanan pulang pergi dari pesanggrahan Peucang. Siapa tahu, jika beruntung akan menemui satwa liar macam rusa,merak,biawak atau kepakan burung Kangkareng.
Lelah tracking, mandi di laut sembari bermain butir-butir pasir putih dapat dilakukan di sepanjang pantai Peucang. Di sini, di tempat ini, mudah ditemukan jenis terumbu karang macam anemon, Acropora brancing, Acropora massive, Acropora encrusting, hingga Acropora foliose (berbentuk bunga mawar) maupun Acropora mushroom (bentuk jamur).
Belum berbagai jenis ikan karang yang hidup di dalamnya, membuat aktivitas diving semakin sempurna. Belum lengkap, tinggal menyeberang 10 menit naik speedboat untuk sampai ke Semenanjung Ujung Kulon. Di sinilah habitat badak bercula satu yang langka itu hidup.
Memang, susah untuk melihat badak jawa ini di habitat aslinya. Pendengaran dan indera penciuman yang tajam membuat badakbadak yang hidup menyendiri ini akan langsung menjauh begitu mendengar tapak-tapak kaki dari jarak lebih dari 100 meter. Tapi jangan khawatir, di Semenanjung Ujung Kulon ini,terdapat padang penggembalaan Cidaon. Inilah padang rumput tempat banteng hidup bergerombol mencari makan.
Juga ada burung merak yang terkadang memamerkan keindahan bulu-bulunya hidup liar di Cidaon. Sayang, ketika kami sampai di Cidaon,hanya dapat melihat satu kelompok banteng sedang merumput. Pulau Peucang juga menyediakan jasa penginapan dengan harga bervariasi antara Rp500.000? Rp800.000 berisi 6?8 kamar AC dan non-AC.
Lebih asyik lagi, di pesanggrahan itu kami bisa bermain-main dengan rusa liar yang sudah jinak. Memberinya makan dan berpose bersama.Tak hanya rusa liar yang turun di pesanggrahan,banyak pula monyet yang meminta sedekah makanan dan babi hutan yang dengan santainya melenggang di tengah-tengah rombongan manusia.
Namun, jika sudah di sini, jangan harap bisa melakukan hubungan dengan dunia luar. Karena nyaris tidak ada sinyal handphone kecuali memakai sambungan satelit. Cocok memang untuk rehat dari aktivitas kantoran, sembari menikmati Peucang, surga yang sempat hilang.
0 komentar:
Posting Komentar